Survei YPKKI dan TEMPO menemukan adanya jamu tradisional untuk diabetes melitus yang mengandung glibenclamide, senyawa kimia yang sangat berbahaya bila dipakai sembarangan। Produk yang sudah dicabut izinnya pun ternyata masih beredar di pasar.
PENYAKIT kencing manis atau diabetes melitus memang membutuhkan pengobatan seumur hidup yang mengu-ras kantong। Tapi, bila Anda hendak beralih ke obat-obatan tradisional yang lebih murah, sebaiknya berhati-hati dalam memilih। Survei TEMPO menemukan beberapa hal dalam obat-obatan tradisional ataupun obat Cina?yang sebetulnya juga tidak murah-murah amat?yang justru bisa membahayakan kesehatan dan akhirnya juga menjebol kantong Anda. Yang terutama harus diwaspadai adalah kandungan unsur-unsur dalam obat tradisional. Pastikan bahwa obat tak bercampur senyawa-senyawa sintetis yang tidak boleh dipakai sembarangan. Sebab, dari beberapa sampel yang diteliti, ternyata diketahui ada obat tradisional untuk diabetes yang mengandung glibenclamide, senyawa kimia yang seharusnya tidak boleh beredar bebas. Dalam pengobatan modern, glibenclamide memang biasa dipakai untuk mengobati kencing manis. Hanya, penggunaannya diatur secara ketat dan harus selalu dalam kontrol dokter. Bahkan, para dokter pun sangat berhati-hati dalam meresepkannya. "Kami paling takut memberikan glibenclamide. Sebab, kalau terlalu tinggi, orang bisa koma dan enggak sadar," kata Dr. Sidartawan Soegondo, ahli diabetes dari Sub-Bagian Metabolik Endokrin Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK-UI/RSCM. Karena itu, akan sangat berbahaya bila obat bebas yang mengandung glibenclamide bisa dibeli siapa saja atau dikonsumsi sembarangan. Apalagi jika dikonsumsi oleh orang yang minum obat bebas diabetes untuk tujuan pencegahan. Bisa dijamin gula darahnya akan drop?dalam bahasa medisnya disebut hipoglikemia. Untuk mencegah penurunan gula darah secara drastis, dokter biasanya memberikan glibenclamide secara bertahap. Menurut Sidartawan, mula-mula pasien diberi dosis sangat kecil, sekitar 2,5 miligram. Selang dua minggu, baru dosisnya dinaikkan pelan-pelan. Nah, jika kadar gula darah tetap tinggi, baru dosisnya dinaikkan lagi. Glibenclamide bukan satu-satunya bahan obat modern yang ditemui dalam survei. Secara kebetulan, tim menemukan senyawa hydrochloorthiazide, atau biasa disebut HCT, dalam obat diabetes asal Cina. Ini mengejutkan. Menurut farmakolog Universitas Indonesia, Zunilda Bustami, HCT adalah obat modern yang biasa digunakan untuk penyakit tekanan darah tinggi, bukan untuk diabetes. Cara kerja obat ini tergolong diuretik, yakni menghambat proses penyerapan kembali zat-zat penting yang dibutuhkan tubuh, seperti air, garam-garaman, dan mineral, oleh ginjal. Pada penderita hipertensi, yang tekanan darahnya bisa terpicu oleh tingginya kadar garam, efek diuretik memang diperlukan. Tapi, apa perlunya penderita diabetes mengonsumsi obat yang efek diuretiknya menyebabkan peminumnya mudah buang air kecil? Bukankah penderita diabetes sudah sering bolak-balik ke belakang untuk buang air kecil? Celakanya, obat yang salah nyelonong ini bukan hanya ditemui pada obat Cina, yang sesungguhnya memang obat modern itu. Dalam jamu tradisional untuk diabetes pun ditemui komponen?seperti tersebut dalam labelnya?yang berefek diuretik. Zulnida mengenali komponen dalam tanaman keji beling dan kumis kucing yang ternyata dipakai dalam jamu untuk diabetes. "Keji beling dan kumis kucing berfungsi melancarkan kencing dan biasa digunakan untuk menghancurkan batu ginjal. Saya tidak tahu hubungannya apakah orang yang menderita diabetes bisa sembuh lantaran kencing terus-menerus," ujar Zulnida. Departemen Kesehatan tentu tahu bahaya pemakaian obat-obat itu?yang memang telah dimasukkan dalam kategori daftar G alias tak bisa diperoleh tanpa resep dokter. Karena itu, dari temuan-temuan mereka, banyak obat yang ditarik izin produksinya. Namun, penarikan izin produksi ternyata tak cukup ampuh membuat jera pabrik-pabrik obat yang nakal. Survei TEMPO menemukan, jamu yang mengandung zat yang masuk dalam daftar G dan beredar di pasar ternyata memang sudah tak berizin lagi. Kalau konsumen waspada, keanehan produk sebenarnya sudah bisa dilihat dari labelnya. Jamu Purba Super dan Serbuk Manjur, misalnya, mencantumkan untaian angka yang mengesankan sebuah nomor pendaftaran dari Departemen Kesehatan. Bunyinya: Depkes RI No. TDP 11082600024 atau BH No. 10485-2/BH/VI/Tgl 09-8-94. Hasil konfirmasi yang dilakukan Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan, Dr. Marius Widjajarta, menyatakan, "Depkes tidak pernah mengeluarkan registrasi semacam itu." Keanehan yang lain juga bisa diendus dari pelitnya informasi produsen tentang komposisi isinya. Malah, pada label jamu Serbuk Manjur dan Sumber Sehat tidak ada pencantuman komposisi sama sekali. Sedangkan pada jamu Jaya Dipa hanya disebutkan "jamu akar-akar rimba". Coba, ini artinya apa? Di hutan rimba memang banyak akar-akaran. Tapi, akar yang mana? Jurus menipu konsumen semacam itu juga ditemukan dalam obat-obatan Cina yang diuji dalam survei. Ini lebih aneh lagi. Sementara obat tradisional ada yang secara diam-diam ditambahi glibenclamide, obat Cina, yang labelnya terang-terangan menyebutkannya, justru sama sekali tidak mengandung glibenclamide. Obat bernama Xioke Wan, misalnya. Dalam labelnya disebutkan mengandung glibenclamide 0,25 persen. Ternyata, zat itu tidak ada sama sekali. Apakah ini berarti obat Cina itu lebih aman? Tidak juga. Akan sama berbahayanya bila konsumen obat bohong-bohongan yang sebenarnya tak berkhasiat itu kemudian merasa aman, lalu menganut pola makan yang bebas merdeka. Gula darahnya pun menjadi tak terkontrol dan bisa sewaktu-waktu melonjak tinggi. Ketidakjelasan dalam label semacam itu ternyata masih juga berlanjut, meski pembuatnya sudah ditemui. Memang, tak semua produsen obat yang disurvei bisa ditemui. Tapi, konfirmasi kepada Maryati, istri pemilik merek jamu Jaya Dipa, misalnya, tak membuat semuanya jadi jelas. Suharto, sang suami, sedang sakit berat ketika ditemui TEMPO di rumahnya di Pekalongan, Jawa Tengah. Sedangkan Maryati mengaku tidak tahu pasti kandungan dalam jamu-jamuan produksi Jaya Dipa. Alasannya, jamu dibuat di Bandung dan Bali?tempat ini tidak bisa dilacak TEMPO. "Jangankan ramuan jamunya, di mana pabriknya pun tidak ada yang tahu," ujar salah seorang pegawai Jaya Dipa. Toh, Maryati mengaku telah mendaftarkan jamu Jaya Dipa No. 4 ke Departemen Kesehatan dan mengantongi nomor register TR 953277911. Kalau ia betul, ada satu lagi hal yang harus dicurigai oleh konsumen obat. Sebab, di pasar beredar jamu Jaya Dipa No. 4 yang labelnya tidak mencantumkan nomor pendaftaran. Apakah ada pemalsuan merek? Kemungkinan itu bisa saja terjadi. Purbo Yulastoro, Ketua Koperasi Jamu Aneka Sari, Cilacap, mengaku anggotanya sudah kapok dan tidak mau lagi mencampur jamunya dengan obat kimia. Sebab itu, kalau di pasaran masih ditemukan produksi jamu dari anggotanya yang mengandung glibenclamide, itu jelas hasil pemalsuan. Dugaan itu diperkuat oleh hasil operasi pasar yang dia lakukan satu setengah bulan lalu. Hasilnya, banyak ditemukan produk anggota koperasinya yang dipalsukan. Praktek serupa itu sangat menjengkelkannya, "Sebab, kalau ada penyimpangan, kami yang selalu kena getahnya." Keterangan Sadar Mas Dar, wanita pemilik perusahaan jamu Purba Salma?dulu memproduksi jamu Purba Super?mengukuhkan keterangan Purbo. Maklum, sejak tiga tahun lalu, ia tidak lagi memproduksi jamu bermerek Purba Super. Sebagai gantinya, ia memakai merek Purba Salma. Nah, kalau di pasaran masih beredar jamu Purba Super, yang ternyata cukup populer hingga menjadi salah satu sampel yang diteliti, itu jelas bukan produk buatannya. Yang jelas, jamu Purba Super yang beredar di pasar mencantumkan nomor registrasi berawal huruf TDP, kode yang tidak dikenal di Departemen Kesehatan. Bagaimana dengan obat tradisional Xioke Wan, yang terbukti isinya tidak sesuai dengan komposisi di kemasannya? Sayang, meski alamatnya dicantumkan secara jelas, yakni Kwangchow First Chinese Medicine Factory, dan TEMPO berhasil mendapatkan tiga nomor kontaknya, saat dihubungi berkali-kali ternyata tidak tersambung atau hanya ditanggapi oleh mesin penjawab. Permintaan konfirmasi via faksimile pun sudah dilakukan, tapi belum ada jawaban. Dengan semua ketidakjelasan itu, konsumen memang dituntut untuk ekstrawaspada. "Kalau memang suka jamu, belilah produk yang sudah terdaftar dan pabriknya cukup dikenal," saran Utomo Dewanto, toksikolog dari Universitas Indonesia, Jakarta. Dwi Wiyana, Rommy Fibri, Dewi R.C. (Jakarta), Idayanie (Cilacap), Ecep Suwardani (Pekalongan)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar